Yogyakarta (berita-indonesia.com):
Minimnya jumlah perempuan yang menjadi peneliti atau dosen peneliti disebabkan salah satunya oleh menurunnya jumlah perempuan yang melanjutkan pendidikan formal.
Wulan Dari, seorang peneliti yang mewakili dosen Indonesia dalam studi riset di Jerman, mengungkapkan situasi serupa yang dialami oleh peneliti muda lainnya. Wulan bekerja sebagai dosen dan peneliti di Universitas Widya Mataram di Indonesia, sementara suaminya juga menjadi dosen di Universitas Mahakarya Asia dan praktisi profesional sebagai konsultan arsitektur.
Di Jerman, Wulan melakukan penelitian di Ruprecht-Karls-Universität Heidelberg, bekerja sama dengan universitas di Munich dan Sheffield.
Proporsi perempuan yang melanjutkan studi ke tingkat S2, S3, atau post-doktoral memang lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki. Namun, pengalamannya selama menerima Penghargaan Talented and High Performance dari Kementerian Pendidikan dan Riset Jerman, saat berinteraksi dengan akademisi Jerman, telah mengubah pandangannya.
Perempuan harus yakin bahwa mereka mampu menjalankan semua peran ini, termasuk ketika harus berhenti sejenak untuk melahirkan atau merawat anak yang sakit. Dukungan dari keluarga dan pasangan menjadi faktor penentu dalam menjalani peran ganda ini.
Tantangan kesetaraan perempuan sebenarnya lebih banyak bersumber dari perempuan itu sendiri. Kehadiran perdebatan tentang keadilan domestik seharusnya tidak lagi menjadi hal biasa. Ketika kedua pasangan berkarir, tanggung jawab dalam urusan domestik haruslah bersama.
Selain itu, institusi pendidikan juga harus mempertimbangkan persyaratan usia agar tidak menghambat karir perempuan sebagai peneliti atau dosen yang melanjutkan studi. Dunia akademis juga harus memberikan kesempatan yang sama tanpa diskriminasi terhadap perempuan, sehingga perempuan tidak harus menghabiskan energi berjuang untuk membuktikan diri.
Mengapa memilih di Jerman? Salah satu pertimbangan adalah kemudahan bagi keluarga, di mana anak-anak dapat menikmati lingkungan hijau, budaya suportif, teman-teman multikultural, dan langit biru tanpa polusi. Jerman juga memberikan tunjangan anak yang membantu keluarga mengatasi biaya pendidikan anak-anak.
Perbedaan karir peneliti di Indonesia dan di luar negeri mencakup fleksibilitas dalam pendidikan tinggi di luar negeri, di mana seseorang dapat mengambil berbagai jurusan yang berbeda dan tetap meraih kesuksesan akademis. Universitas di luar negeri mendorong pendekatan interdisipliner dan multidisipliner yang mendukung perkembangan berbagai bidang ilmu.
Untuk dirinya pribadi, ijazah internasionalnya memiliki nilai penting bukan hanya untuk kepentingan pribadi, tetapi juga untuk berkontribusi lebih luas dan jangka panjang ketika kembali ke Indonesia, dengan tujuan memperluas jaringan dan mempererat kerja sama antara universitas di Indonesia dan Jerman dalam pengajaran dan penelitian. Di rilis dari harianjogja.com. (BC)