LAMPUNG UTARA (BI) :
Dari Lampung Utara tim melanjutkan perjalanan menuju makam Sunan Kalijaga yang merupakan salah satu Wali Songo yang berjasa menyebarkan Islam di Pulau Jawa.
Sampai ke areal makam Sunan Kalijaga waktu sudah menunjuk sekitar pukul 23.00 dan di lokasi, parkir di areal makam masih tampak padat dikunjungi peziarah yang datang dari berbagai daerah dengan beragam tujuan.
Dan, bagi peziarah, makam Sunan Kalijaga terbuka 24 jam dan komplek tersebut selalu dipadati pengunjung.
Setelah rehat sejenak dan membersihkan diri di pemandian umum yang ada di lokasi, tim berjalan menuju areal pemakaman.
Di sekitar kompleks pemakaman, banyak pedagang menjajakan beragam souvenir yang disiapkan sebagai oleh-oleh bagi pengunjung dan tim menyempatkan diri memilih untuk membeli beberapa oleh-oleh sebagai buah tangan untuk di bawa pulang.
Kilas balik sejarah, tercatat sosok Sunan Kalijaga memiliki beberapa nama lain, yakni: Lokajaya, Syaikh Malaya, Pangeran Tuban, Ki Dalang Sida Brangti, dan Raden Abdurrahman.
Sebelum mendapat gelar sebagai Sunan Kalijaga, nama asli beliau adalah Raden Said atau Raden Sahid, anak dari Bupati Tuban bernama Tumenggung Wilatikta dengan ibunya bernama Dewi Nawangrum.
Awal Sunan Kalijaga mulai berdakwah di Cirebon, tepatnya di Desa Kalijaga. Kemudian menyebarkan agama Islam pada penduduk Pamanukan dan Indramayu. Cara Sunan Kalijaga berdakwah dengan menggunakan pendekatan seni dan budaya, seperti pertunjukan wayang, ukiran, gamelan, lagu, dan pakaian.
Beliau wafat pada 12 Muharram 1513 saka (sekitar 17 Oktober 1592 M) dan dimakamkan di Daerah Kadilangu, Kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah.
Makam beliau, sampai sekarang menjadi salah satu tujuan destinasi wisata sejarah dan religi di daerah setempat. Untuk kompleks pemakaman, berada di kawasan pesisir pantai Utara Jawa Tengah, tepatnya di Desa Kadilangu, Kecamatan Demak Kota, Kabupaten Demak. Lokasinya berjarak sekitar dua kilometer di sebelah tenggara Kota Demak atau sekitar tiga kilometer dari Masjid Agung Demak.
Bentuk Masjid Kadilangu berbentuk joglo dengan atap tumpang (susun) tiga, seperti halnya masjid-masjid kuno di Jawa lainnya. Sementara bentuk jirat pada makam memiliki bentuk jirat kuno dengan beberapa variasi antara lain bentuk gada, kurawal, dan matahari. Seperti halnya kompleks pemakaman kuno di Jawa, makam-makam disusun dalam beberapa halaman yang disekat tembok.
Bangunan masjid dan kompleks makam berada dalam satu kawasan yang merupakan ciri khas pola tata letak masjid dan makam yang ada di Jawa saat itu.
Posisi makam seperti itu, juga menunjukkan ciri khas makam raja atau pejabat, dimana makam utama terletak di halaman paling belakang.
Di areal, makam Sunan Kalijaga yang merupakan makam utama terletak di halaman belakang. Untuk masuk ke makam Sunan Kalijaga atau Gedung Kasunanan, peziarah akan melewati tiga buah pintu gerbang.
Kemudian peziarah bisa berdoa di dalam Gedung Kasunanan di dekat cungkup atau bangunan makam Sunan Kalijaga. Adapun di dalam cungkup tengah tersebut terdapat makam Sunan Kalijaga dan istrinya.
Sementara di luar cungkup terdapat makam putra-putrinya, makam ayahnya dan makam adiknya.
Untuk makam-makam yang berada di luar Gedung Kasunanan merupakan makam dari ahli waris Sunan Kalijaga yang telah dibuktikan dengan surat silsilah.
Selain ziarah di makam, tim menyempatkan diri untuk minum segelas dari air yang ditampung dari dua gentong yang terletak di sisi makam yang menjadi jalur pintu keluar bagi pengunjung.
Merunut kisah, dua gentong yang airnya dibagikan bagi pengunjung tersebut dipercaya memiliki tuah dan beragam khasiat.
Air di dalam gentong, kerap dimanfaatkan peziarah guna membasuh tubuh, diminum, atau sengaja ditampung untuk dibawa pulang.
Di lansir dari KOMPAS.COM, dua gentong tersebut, sudah berusia ratusan tahun. Awalnya digunakan sebagai tempat air untuk wudhu dan penyimpanan beras.
Rumah Gentong kedua tersebut memiliki nama yang berbeda, gentong pertama yang digunakan untuk tempat air wudhu disebut padasan.
Gentong kedua, yang digunakan untuk menyimpan pangan berupa beras disebut pedaringan. Setelah Sunan Kalijaga wafat, kedua gentong tersebut kemudian dijadikan tempat untuk menampung air, yang kemudian disuguhkan kepada tamu atau peziarah.
Raden Edy Mursalin mengatakan bahwa beberapa peziarah mengambil air gentong tersebut dengan maksud untuk mendapat berkah dari Sunan Kalijaga dengan meminta doa kepada Allah SWT.
Tidak jarang, air dari gentong bertuah tersebut digunakan untuk melakukan tradisi siraman pengantin atau membersihkan lingkungan rumah yang dianggap terkena gangguan makhluk gaib.
Walau demikian, Edy sendiri juga tidak mengetahui awal mula air gentong tersebut mulai disuguhkan kepada peziarah.
Usai dari ziarah, tim melanjutkan perjalanan ke Masjid Demak… YUD