Berita-indonesia.com – Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mengusulkan agar Undang-undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) kembali direvisi.
Ia mengusulkan UU tersebut dikembalikan ke versi lama karena aturan terbaru itu disebut tidak membuat MK patuh terhadap konstitusi.
“Kita pengen kembalikan saja kepada Undang-undang MK yang lama. Ya, poin-poinnya kita kembalikan saja, artinya kepada yang lama,” kata Arsul kepada wartawan setelah acara HUT Komisi Yudisial ke-17 di Auditorium KY, Jakarta, Rabu (24/8).
“Karena ternyata revisi UU MK itu tidak menjadikan MK tertib konstitusi, kok. MK sendiri sebagai penjaga konstitusi, dan itu terbukti apa? Terbukti di putusan uji materi Undang-undang MK,” lanjut Asrul.
Politikus PPP itu kemudian mengambil contoh saat MK menguji formil UU Cipta Kerja (Ciptaker). Arsul menyinggung MK dengan menyebut lembaga tersebut seperti lembaga politik. Ia menekankan sebaiknya Mahkamah Konstitusi berpegang teguh menjalankan fungsinya sebagai lembaga hukum, bukan mengambil sikap seolah lembaga politik seperti DPR.
“Jadi kan MK sama saja dengan DPR kalau begitu, sebagai lembaga politik. Itu enggak boleh,” kata Arsul.
“Selain DPR itu enggak boleh. Kalau DPR itu lembaga politik, yang lainnya ini lembaga hukum, harus kenegarawanan,” lanjutnya.
Pakar Sindir DPR dalam UU MK
Dalam kesempatan yang sama, Pakar Hukum Tata Negara dari UGM Zainal Arifin Mochtar menilai pernyataan Arsul itu sebagai hal konyol. Apalagi, pengesahan revisi UU MK sebelumnya mendapatkan kritik dari publik hingga digugat ke pengadilan konstitusi itu.
Namun, Zainal pada akhirnya menyambut baik usulan tersebut karena ada kesadaran tentang kekeliruan dalam UU MK yang berlaku. Ia juga berharap usulan tersebut benar-benar memperbaiki masalah jika nantinya ditindaklanjuti.
“Sebagai sebuah ide, memperbaiki keburukan dari UU MK tentu harus disetujui walaupun terkesan konyol kemarin.” kata Zainal kepada wartawan.
“Dan yang kedua adalah mudah-mudahan perbaikannya betul-betul perbaikan. Bukan kembali mengulang perilaku politik yang direstui secara proses perubahan UU,” lanjutnya.