LAMPUNG UTARA (BI):
Usai pelantikan 213 pejabat dengan rincian 104 pejabat administrator (eselon III) dan 109 pengawas (eselon IV) di Ruang Tapis, Sekretariat Daerah Kabupaten Lampung Utara pada Selasa, (30-8-2022) lalu, menimbulkan polemik.
Hal itu, merujuk dari sumber beberapa pejabat daerah yang dinonjobkan tanpa mengetahui dasar dari putusan tersebut.
Mengulas fenomena non job, sebagian kalangan menganggap itu sebagai kebijakan yang salah. Bila, putusan yang dilakukan Gubernur, Walikota maupun Bupati selaku Pejabat Pembinan Kepegawaian (PPK) yang melakukan rolling kepada sejumlah pejabat di daerahnya tanpa melalui prosedur yang sah.
Sebab, non job bagi ASN yang berkinerja baik tanpa sebab merupakan perbuatan sewenang-wenang pemerintah dan dapat dikatakan non job merupakan penurunan jabatan sebagai bentuk hukuman disiplin berat bagi ASN.
“Apabila keputusan non job dalam rangka penjatuhan sanksi kedisiplinan tentunya, dapat ditempuh upaya administratif berupa keberatan dan banding administratif. Namun bagaimana apabila pencopotan jabatan tidak dalam rangka pemberian sanksi kedisplinan, maka sesuai ketentuan yang berlaku, hal ini masuk dalam kategori Keputusan Sewenang-Wenang dan Penyalahgunaan Wewenang Pemerintah”.
Lalu, bagaimana non job merujuk hukum kepegawaian.
Istilah non job tidak di atur dalam hukum kepegawaian. Hukum kepegawaian hanya mengatur tentang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diberhentikan dari Jabatan Struktural sebagaimana di atur dalam PP No. 100 Tahun 2000 Jo. PP N0. 13 Tahun 2002. Ketentuan ini mengatur tentang tahapan panjang dalam memberhentikan seorang PNS dari jabatan struktural alias Non Job.
Selain dua aturan tersebut, Peraturan Pemerintah nomor 11 tahun 2017 tentang Manajemen PNS, menjelaskan untuk memutuskan ASN non job harus berdasarkan pemeriksaan tim yang kemudian hasil pemeriksaan tim gabungan tersebut disampaikan ke kepala daerah.
Dalam ketentuan itu, seorang PNS dapat diputuskan non job dengan syarat apabila PNS tersebut mengundurkan diri dari jabatannya, mencapai batas usia pensiun, diberhentikan dari PNS dan diangkat dalam jabatan struktural lainnya. Di lanjutkan cuti diluar tanggungan negara, tugas belajar lebih dari enam bulan, adanya perampingan struktur/organisasi satuan kerja serta tidak sehat jasmani dan rohani.
Selain itu, hukum kepegawaian hanya memperbolehkan mutasi jabatan dalam lingkup perpindahan jabatan struktural dalam eselon yang sama, perpindahan jabatan ke eselon yang lebih tinggi dan perpindahan jabatan dari jabatan struktural ke dalam jabatan fungsional dengan status jabatan yang sama.
Hukum kepegawaian juga secara tegas melarang mutasi jabatan dilakukan secara serta merta mencopot jabatan struktural seseorang.
Lebih lanjut, merujuk Ketentuan Hukum Disiplin Pegawai sebagaimana di atur dalam Pasal 7 Ayat 4 PP No. 53 Tahun 2010 menjelaskan mekanisme yang ditempuh sejak awal sampai masuk tahap pemberian Sanksi Kedisiplinan PNS, di mulai dari pemanggilan secara tertulis oleh atasan langsung atau oleh Tim Pemeriksa.
Selanjutnya, dilakukan pemeriksaaan secara tertutup yang hasilnya dituangkan dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Pengumpulan Bukti dan Keterangan Saksi, apabila ditemukan pelanggaran dan kesalahan baru dapat dijatuhkan sanksi kedisplinan.
Sanksi yang dapat diberikan pun secara berjenjang mulai dari hukuman ringan, sedang dan berat. Salah satu sanksi dalam hukuman berat adalah pembebasan dari jabatan yang dapat disamakan dengan istilah saat ini yaitu: Non Job.
Di kutip dari mediaindonesia.com, proses non job harus didasari dari argumentasi kuat. Hal itu disampaikan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Sumarsono. Dia menuturkan proses pencopotan secara paksa tanpa argumentasi yang jelas merupakan bentuk pelanggaran terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang ASN.
Merujuk dari PP tersebut, pencopotan pejabat merupakan bentuk hukuman berat yang harus didahului dengan evaluasi atau sidang etik.
Hukuman berat itu dijatuhkan, jika pejabat yang bersangkutan melakukan pelanggaran disiplin atau tidak menunjukkan kinerja yang baik.
“Bisa juga diberhentikan karena kinerja yang sangat rendah. Itu ada ukurannya dan biasanya melalui perhitungan performance, ditunjukkan bahwa dia tidak mencapai target”
ujarnya ketika dihubungi, Rabu (18/7).
Jika prosedur itu tidak dilakukan, maka
Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) akan turut memeriksa kepala daerah serta pejabat kepegawaian yang berwenang.
Merujuk pasal 118 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN menyebutkan, bahwa pejabat pimpinan tinggi yang tidak memenuhi kinerja yang dijanjikan dalam waktu satu tahun di suatu jabatan diberi kesempatan selama enam bulan untuk memperbaiki kinerjanya. Bila tidak menunjukkan perbaikan kinerja, maka pejabat bersangkutan harus mengikuti ulang uji kompetensi.
Sementara pada pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Aparatur Sipil Negara disebutkan bahwa setiap atasan wajib memeriksa lebih dulu PNS yang dijatuhi hukuman disiplin. Pemeriksaan dilakukan secara tertutup dan hasilnya dituangkan dalam berita acara pemeriksaan (BAP).
Apabila keputusan non job dalam rangka penjatuhan sanksi kedisiplinan tentunya, dapat ditempuh upaya administratif berupa keberatan dan banding administratif. Namun bagaimana apabila pencopotan jabatan tidak dalam rangka pemberian sanksi kedisplinan, maka sesuai ketentuan yang berlaku, hal ini masuk dalam kategori Keputusan Sewenang-Wenang dan Penyalahgunaan Wewenang Pemerintah.
Dari aturan itu, pertanyaannya apakah tahapan tersebut telah dilalui. YUD