Menata luka di antara tawa yang dipaksa,
Indonesia menunduk di bawah layar propaganda,
Janji-janji dijual murah di etalase kampanye,
sementara perut rakyat kosong,
dan data kemiskinan dipoles jadi pencapaian.
Korupsi kini bukan aib,
tapi tradisi yang diwariskan dengan senyum diplomatis.
Dari kantor desa sampai gedung kementerian,
semua berlomba menipu dengan tata cara yang sah.
Rakyat disuruh hemat, pejabat berpesta,
dan hukum—lagi-lagi—berlutut di bawah sepatu kuasa.
Pendidikan makin kehilangan makna,
buku hanya jadi formalitas,
guru ditindih administrasi,
dan generasi muda tumbuh tanpa arah,
diajarkan menghafal, tapi tak diajarkan berpikir.
Kampus jadi pasar ijazah,
bukan ladang intelektual yang menanam masa depan.
Hutang negara membumbung tinggi,
seperti langit yang menolak dijangkau.
Setiap tanda tangan pinjaman adalah jerat baru,
anak cucu kita sudah lahir dengan beban yang bukan miliknya.
Istana bicara pembangunan,
tapi yang dibangun hanyalah tumpukan nota dan janji kosong.
Tambang-tambang dikeruk sampai bumi menjerit,
gunung digunduli, sungai dipenuhi racun,
dan ekosistem mati perlahan.
Sementara masyarakat sekitar,
masih mandi di air keruh,
dan makan dari tanah yang tak lagi subur.
Mereka menonton truk-truk keluar masuk,
membawa kekayaan negeri yang tak pernah jadi milik mereka.
Kami tak minta belas kasihan,
hanya keadilan yang tak dijual di lelang politik.
Kami tak ingin revolusi darah,
cukup kesadaran yang lahir dari nurani, bukan dari pidato.
Wahai penguasa berjas dan berdasi,
jangan sembunyikan kebohongan di balik jargon nasionalisme,
karena kami sudah tak butuh bendera untuk tahu arti luka.
Cukup lihat mata kami—
masih ada api kecil di sana,
yang menunggu saatnya menyala lagi.
#SuaraRakyat,
#PuisiNegeri,
#IndonesiaBerduka,
#LawanKorupsi,
#SelamatkanAlam,

















