CIREBON (berita-indonesia.com):
Pertengahan Januari 2024 malam, dari Kotabumi, Lampung Utara, tim memulai perjalanan dengan rencana awal mengelilingi obyek wisata religi di pulau Jawa, khususnya makam 9 sunan atau di kenal dengan makam wali songo.
Dari Bakauheni, tim naik kapal feri menuju Merak. Kapal mendarat di dermaga pagi, di rest area, tim beristirahat sejenak menikmati kopi dan sarapan pagi dan melanjutkan perjalanan dengan tujuan awal ke Desa Wisata Religi Astana di Kecamatan Gunungjati, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.
Merujuk peta, lokasi makam berada di areal perbukitan yang dikenal dengan sebutan Gunung Sembung.
Makam Sunan Gunung Jati, merupakan salah satu destinasi wisata religi yang yang banyak dikunjungi wisatawan dan peziarah. Makam yang menjadi saksi sejarah penyebaran agama Islam di Jawa Barat pada abad ke-15 ini, memiliki arsitektur yang unik serta nuansa spiritual yang kental.
Mengutip Buku Sejarah Perjuangan Umat Islam Indonesia, Studi Historis, Dr. Abdul Haris, M.Pd. (2024:24), Syarif Hidayatullah yang dikenal dengan julukan Sunan Gunung Jati memiliki gelar Pandita Ratu yang memiliki dua peran. Yakni: sebagai wali penyebar agama Islam sekaligus raja yang berkedudukan di Cirebon.
Sejarah Singkat Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati, yang dikenal dengan nama asli Syarif Hidayatullah, lahir pada tahun 1448 M di Mekah. Beliau adalah keturunan dari keluarga bangsawan dan memiliki garis keturunan yang menghubungkannya dengan kerajaan di Jawa Barat. Setelah menetap di Cirebon, Sunan Gunung Jati menjadi salah satu penyebar agama Islam terpenting di wilayah Jawa Barat. Kiprahnya sebagai ulama dan pemimpin spiritual menjadikannya sosok yang dihormati hingga kini.
Peran Sunan Gunung Jati sangat signifikan dalam mendirikan Kesultanan Cirebon dan menyebarkan Islam di wilayah Jawa Barat, bahkan hingga ke Banten dan Sunda Kelapa (sekarang Jakarta). Beliau juga dikenal sebagai ulama yang toleran, yang mampu mengakomodasi nilai-nilai lokal dalam ajaran Islam, menjadikannya sosok yang mudah diterima oleh masyarakat setempat.
Beliau meninggal dan di tahun 1568 dan dimakamkan di tanah Cirebon, tepatnya di kawasan puncak Bukit Sembung yang berlokasi di pinggiran Kota Cirebon.
Di lokasi, pengunjung dapat menemukan berbagai fasilitas pendukung, termasuk area parkir, toilet, dan warung makan.
Selain itu, terdapat mushola bagi pengunjung yang ingin melaksanakan shalat atau ibadah lain. Peziarah juga dapat menemukan kios yang menjual oleh-oleh khas Cirebon seperti batik, aksesoris, dan makanan tradisional.
Untuk arsitektur makam, adalah perpaduan budaya Jawa, Tiongkok, dan Arab, yang mencerminkan hubungan lintas budaya yang erat pada masanya.
Pintu di Makam Sunan gunung Jati, terdapat sembilan pintu utama atau di kenal dengan sebutan “Lawang Sanga.”. Di masing-masing pintu, memiliki nilai simbolis dan arsitektur khas, dengan ornamen-ornamen yang mengandung makna filosofis.
Ke sembilan pintu tersebut, yakni: Pintu Pasujudan, Gapura, Krapyak, Ratna Komala, Jinem, Rararoga, Kaca, Bacem, dan Teratai.
Di kutip detikJabar, Rabu (9/8/2023). pemerhati sejarah Cirebon, Sidik, menuturkan pintu Gapura merupakan pintu awal atau pertama untuk memasuki area komplek permakaman Sunan Gunung Jati.
Bagi masyarakat umum yang ingin berziarah, hanya dibatasi sampai pada pintu ke tiga yakni di pintu Pasujudan. Sedang pintu ke empat dan seterusnya, hanya dikhususkan bagi keluarga keraton Cirebon dan keturunan Sunan Gunung Jati.
“Batas peziarah itu sampai pintu Pasujudan. Selebihnya itu khusus untuk keluarga keraton dan keturunan Sunan Gunung Jati,” kata dia
Menurut Sidik, tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam makam Sunan Gunung Jati. Salah satu alasannya karena di dalam komplek permakaman Sunan Gunung Jati terdapat benda-benda berharga yang memiliki nilai sejarah.
Keberadaan makam Sunan Gunung Jati sendiri berada di pintu ke-9, yakni: pintu teratai yang terletak di puncak Gunung Sembung dengan ketinggian 20 meter.
Di lokasi, juga terdapat makam istrinya, yakni: Putri Ong Tien Nio, sosok wanita keturunan China. Hal ini dapat dilihat dari area makamnya yang dihiasi dengan ornamen khas Tiongkok.
Selain Sunan Gunung Jati, komplek permakaman yang berada di Gunung Sembung Desa Astana ini juga merupakan tempat makamkannya keluarga maupun keturunan dari Sunan Gunung Jati.
“Di sebelah makam Sunan Gunung Jati, itu ada makam pangeran Fatahillah yang merupakan menantu dari Sunan Gunung Jati. Kemudian ada juga makam ibunda Sunan Gunung Jati, Nyi Mas Rarasantang. Di situ juga ada makam istri dan anak-anaknya Sunan Gunung Jati serta keluarga-keluarganya yang lain,” kata Sidik.
Kalau di pintu ke delapan dan seterusnya itu adalah makam-makam dari Sultan-sultan Cirebon yang juga merupakan keturunan Sunan Gunung Jati,” kata sidik menambahkan.
Komplek permakaman Sunan Gunung Jati buka setiap hari selama 24 jam. Tidak ada biaya masuk bagi masyarakat yang ingin berziarah. Hanya saja, masyarakat bisa memberi uang seikhlasnya kepada juru kunci yang bertugas di area tersebut yang nantinya digunakan untuk perawatan dan pemeliharaan makam.
Di komplek pemakaman, terdapat tujuh sumur yang digunakan peziarah untuk mandi atau mengambil air dengan harapan mendapat keberkahan.
Demi ketertiban, pengunjung yang datang dengan tujuan wisata atau berziarah diharapkan mengenakan pakaian yang sopan. Karena makam adalah tempat yang dihormati.
Di area makam juga terdapat juru kunci yang bertugas menjaga kebersihan serta ketertiban pengunjung. Wisatawan yang membutuhkan panduan atau informasi dapat berinteraksi dengan juru kunci yang ada di lokasi.
Selesai ziarah di makam Sunan Gunung Jati, tim melanjutkan perjalanan ke Jawa Tengah, menuju makam Sunan Muria. YUD