Kunjungan SMAN 1 Pringsewu: Permintaan Maaf atau Sekadar Menutup Luka?
Oleh: Ivin Aidya Firnandes, SH., MH — Advokat dan Pemerhati Dunia Pendidikan
Kunjungan pihak SMAN 1 Pringsewu ke rumah orang tua Mic (17), siswa yang dipaksa mengundurkan diri, Jumat (15/8/2025), boleh jadi dimaksudkan sebagai langkah penyelesaian. Namun, mari kita jujur: benarkah itu penyelesaian, atau sekadar upaya menutup luka dengan plester tipis tanpa mengobati penyakitnya?
Andre, ayah Mic, dengan berbesar hati menerima kedatangan rombongan wakil kepala sekolah dan staf humas. Tetapi di balik keramahan itu, tersisa keganjilan. Permintaan agar persoalan tidak diperpanjang, tanpa evaluasi dan komitmen perubahan, sama saja dengan menganggap masalah ini sekadar salah paham kecil. Padahal, yang dipertaruhkan adalah hak konstitusional anak untuk mendapatkan pendidikan.
Pelanggaran Hak, Bukan Salah Paham
Kita tidak boleh lupa: hak pendidikan adalah hak dasar yang dijamin UUD 1945 Pasal 31 ayat (1), yang menegaskan “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.”
Lebih jauh, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 5 ayat (1) menyebutkan “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.”
Artinya, memaksa seorang siswa mengundurkan diri, apalagi dengan tekanan melalui surat pernyataan wali, adalah tindakan yang melanggar prinsip kesetaraan pendidikan. Itu bukan kesalahan teknis, melainkan pelanggaran etis, administratif, bahkan potensial masuk ranah hukum.
—
Pemimpin yang Menghilang
Ironisnya, dalam momen krusial ini, Kepala Sekolah justru absen. Ia memilih mengutus staf untuk meminta maaf. Pertanyaannya, di manakah pemimpin ketika kapal oleng?
Presiden Prabowo saja dalam pidatonya menegaskan: seorang pemimpin harus berdiri di garis terdepan pada titik paling kritis. Jika di level kepala sekolah saja sudah gamang menghadapi krisis, bagaimana bisa ia mendidik anak-anak untuk berani, jujur, dan bertanggung jawab?
—
Permintaan Maaf Bukan Sekadar Formalitas
Permintaan maaf seharusnya bukan sekadar basa-basi diplomasi. Ada syarat mutlak yang harus dipenuhi: tabayun yang terbuka, pengakuan kesalahan yang jujur, dan komitmen nyata untuk memperbaiki sistem.
Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Kunjungan ke orang tua dan bibi Mic dilakukan terpisah, tanpa kepala sekolah, tanpa agenda jelas, tanpa pernyataan resmi tentang perubahan kebijakan. Bukankah ini hanya menambah daftar panjang praktik pendidikan yang kerap bersembunyi di balik prosedur?
Cermin Buram Dunia Pendidikan Kita
Kasus ini harus menjadi alarm keras bagi Dinas Pendidikan Lampung. Bahwa sekolah, yang seharusnya menjadi teladan etika, justru menampilkan wajah birokratis yang kaku dan miskin empati. Pendidikan bukan sekadar kurikulum, bukan pula sebatas nilai raport. Pendidikan adalah tentang menegakkan martabat manusia.
Apresiasi patut diberikan kepada Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung yang sigap turun tangan. Namun tanggung jawab ini tidak boleh berhenti pada satu kasus Mic. Sistem harus dibenahi. Mekanisme pengawasan diperkuat. Dan yang terpenting, mentalitas para pendidik harus direformasi.
—
Rekomendasi Perbaikan Sistem
Agar kasus serupa tidak terulang, ada beberapa langkah nyata yang seharusnya menjadi prioritas:
1. Penguatan Etika Kepemimpinan
Kepala sekolah harus hadir langsung dalam setiap krisis. Kepemimpinan bukan sekadar jabatan administratif, melainkan teladan moral.
2. Standarisasi Penanganan Masalah Siswa
Dinas Pendidikan perlu membuat SOP yang jelas: siswa tidak boleh dipaksa mengundurkan diri tanpa mekanisme pembinaan, pendampingan psikologis, dan mediasi keluarga.
3. Transparansi dan Partisipasi
Setiap keputusan penting terkait siswa harus melibatkan komite sekolah, orang tua, dan jika perlu pengawasan dari dinas.
4. Pendidikan Berbasis Hak Anak
Sekolah wajib menanamkan prinsip “the best interest of the child” dalam setiap kebijakan. Siswa bukan objek, melainkan subjek pendidikan.
5. Evaluasi dan Sanksi
Guru atau pejabat sekolah yang terbukti melanggar hak pendidikan harus mendapat evaluasi serius, bahkan sanksi administratif sesuai aturan.
Pelajaran untuk Semua
Hari ini Mic sudah bersekolah di SMA Xaverius. Keluarganya memilih mengutamakan psikologis anak, bukan ego untuk melawan. Itu keputusan bijak. Tetapi apakah kita lantas berpuas diri? Apakah kita akan membiarkan kasus seperti ini terulang pada siswa lain?
Jawabannya tegas: tidak boleh!
Karena pendidikan bukan hak istimewa, melainkan hak konstitusional. Dan ketika hak itu dilanggar, diam berarti ikut bersalah.