Ketimpangan Agraria di Indonesia Masih Tinggi
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) kembali merilis catatan suram tentang wajah agraria di Indonesia. Sepanjang satu dekade terakhir, dari 2014 hingga 2024, konflik agraria masih menjadi momok yang menghantui petani, buruh tani, hingga masyarakat adat.
Dalam laporan itu tercatat 3.234 letusan konflik agraria dengan luasan penggusuran mencapai 7,4 juta hektar. Akibatnya, 1,8 juta keluarga kehilangan tanah-tanah yang bagi mereka bukan sekadar aset ekonomi, melainkan sumber hidup dan identitas.
Data KPA menunjukkan jurang yang semakin menganga. 26,8 juta hektar tanah hanya dikuasai oleh 60 keluarga kaya di Indonesia. Lebih tajam lagi, 1 persen kelompok elit menguasai 58 persen tanah dan kekayaan alam nasional, sementara 99 persen sisanya harus berebut remah tanah yang tersisa.
Ironi itu semakin telanjang jika menilik kehidupan sehari-hari petani. 17,25 juta keluarga petani hanya memiliki lahan di bawah 0,5 hektar—luas yang bahkan tidak mencukupi untuk menopang kebutuhan keluarga. Pendapatan harian buruh tani berkisar Rp62–75 ribu, setara dengan Rp1,5 juta per bulan, jauh di bawah standar Upah Minimum Provinsi (UMP). Sedangkan petani gurem yang lahannya kurang dari 0,5 hektar hanya bisa berharap pada pendapatan di bawah Rp50 ribu per hari.
Sementara itu, negara justru memberi keleluasaan bagi korporasi besar. Korporasi perkebunan menguasai 17 juta hektar, tambang 9,1 juta hektar, dan korporasi kehutanan 34,18 juta hektar. Angka-angka ini memperlihatkan betapa timpangnya distribusi sumber daya alam: rakyat kecil berdesakan di lahan sempit, sedangkan korporasi menikmati konsesi puluhan juta hektar.
Tak berhenti di situ, KPA juga mencatat bahwa 58 persen desa miskin dan tertinggal justru berada di kawasan yang tumpang tindih dengan klaim kehutanan maupun konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI). Artinya, kemiskinan yang dialami masyarakat bukanlah kemiskinan alamiah, melainkan kemiskinan yang diciptakan oleh kebijakan negara yang memihak korporasi.
Melihat fakta tersebut, KPA menegaskan bahwa jalan keluar dari krisis agraria hanya bisa ditempuh melalui reforma agraria sejati. Bukan reforma agraria semu yang sebatas retorika politik atau proyek sertifikasi tanah, melainkan pembenahan menyeluruh atas struktur penguasaan tanah. Reforma agraria sejati menuntut adanya distribusi ulang tanah dari korporasi dan tuan tanah besar kepada petani, buruh tani, dan masyarakat adat yang selama ini tersisih.
Rilis ini sekaligus menjadi pengingat keras bagi negara, selama ketimpangan agraria dibiarkan, konflik, penggusuran, dan penderitaan rakyat kecil akan terus berulang. Ketimpangan agraria bukan sekadar soal kepemilikan tanah, melainkan soal keadilan sosial sebuah janji yang hingga kini masih gagal ditunaikan.