Lampung Darurat Korupsi
Oleh Yudhi Irawan
Sudah begitu banyak di Lampung kepala daerah yang terjerat masalah hukum (pidana korupsi). Beberapa di antaranya bahkan terkena OTT (Operasi Tangkap Tangan) oleh KPK, seperti:
Zainudin Hasan — Bupati Lampung Selatan (OTT KPK 2018, divonis 12 tahun).
Mustafa — Bupati Lampung Tengah (OTT KPK 2018, divonis 12 tahun).
Khamami — Bupati Mesuji (OTT KPK 2019, divonis 8 tahun).
Agung Ilmu Mangkunegara — Bupati Lampung Utara (OTT KPK 2019, divonis 7 tahun).
Dawam Rahardjo — Mantan Bupati Lampung Timur (tersangka kasus korupsi proyek gerbang rumah dinas).
Selain itu, ada pula kepala daerah lain yang masih dalam proses hukum atau pemeriksaan, termasuk Bupati Pesawaran serta mantan Gubernur Lampung.
Fenomena banyaknya kepala daerah yang jatuh karena “permainan proyek” ternyata tidak membuat jera pejabat lainnya. Seolah-olah kasus-kasus korupsi yang terjadi hanyalah dongeng yang tidak memberikan efek takut.
—
Alasan Kepala Daerah Ikut Bermain Proyek
Sebagian besar kepala daerah beralasan bahwa mereka harus mencari cara untuk mengembalikan modal besar saat Pilkada. Tekanan politik, biaya tim sukses, hingga urusan “balas budi” membuat proyek-proyek pemerintah dijadikan ladang uang cepat.
Modus yang Sering Digunakan
1. Melalui Pihak Ketiga
Kepala daerah menunjuk orang kepercayaan atau “pemain lapangan” untuk mengumpulkan gratifikasi (setoran) dari kontraktor.
Besarannya bisa mencapai 20% dari nilai proyek.
Setelah terkumpul, kepala daerah memerintahkan Kepala OPD untuk mengatur lelang proyek.
Proses lelang kemudian diarahkan ke LPSE (Layanan Pengadaan Barang/Jasa) agar dimenangkan oleh perusahaan yang sudah menyetor.
2. Melalui Kepala OPD
Di beberapa kasus, kepala daerah langsung memerintahkan Kepala OPD tanpa perantara pihak ketiga.
Rekanan atau kontraktor memberikan setoran langsung ke Kepala OPD.
Selanjutnya, Kepala OPD bekerja sama dengan LPSE untuk memenangkan pihak yang sudah membayar gratifikasi.
Akibat dari Praktik Proyek Bermasalah
Kualitas pembangunan menurun karena proyek dikerjakan tidak sesuai standar, melainkan berdasarkan besarnya setoran.
APBD bocor besar-besaran, dana rakyat terbuang bukan untuk kepentingan publik, tetapi untuk memperkaya segelintir orang.
Masyarakat yang dirugikan karena jalan, sekolah, rumah sakit, hingga infrastruktur desa tidak sesuai harapan.
Kepala daerah dan pejabat terkait akhirnya berujung di meja hijau, merusak karier politik dan meninggalkan stigma buruk bagi daerah.