Lampung Utara – Program pembangunan septictank tahun anggaran 2025 yang dibiayai Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk Kabupaten Lampung Utara kini terancam gagal. Alih-alih mempercepat layanan sanitasi, program ini justru tersandera tarik-menarik kepentingan antara Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dan oknum pejabat Dinas Perumahan, Permukiman, dan Cipta Karya.
Menurut penelusuran berita-indonesia.com, dana miliaran rupiah yang semestinya langsung cair ke rekening KSM hingga kini tertahan. Penyebabnya, pihak KSM menolak mengikuti arahan dinas agar pengadaan septictank dilakukan melalui rekanan tertentu yang sudah ditunjuk.
“Dana tidak cair karena kami menolak membeli ke penyedia yang mereka paksakan. Padahal juknis jelas menyebutkan KSM yang mengelola langsung. Kalau seperti ini, bagaimana kami bisa membangun?” ujar salah satu pengurus KSM.
—
Mekanisme yang Disalahgunakan
Berdasarkan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis) Program Sanitasi Berbasis Masyarakat (Sanimas) Kementerian PUPR 2025, mekanisme seharusnya berjalan sebagai berikut:
1. Dana bantuan pemerintah (banpem) disalurkan langsung ke rekening KSM.
2. KSM melakukan swakelola, termasuk memilih penyedia barang/jasa sesuai spesifikasi teknis.
3. Dinas Perumahan hanya bertugas membina, memfasilitasi, dan mengawasi.
4. Intervensi, pemaksaan, atau pengkondisian rekanan oleh dinas dilarang keras.
Namun, di lapangan, oknum pejabat justru diduga mengarahkan KSM agar membeli melalui rekanan tertentu yang sudah mereka “setujui”.
—
Skema Fee: Bukan Mark-Up, tapi Cashback
Dari informasi yang dihimpun, pola dugaan permainan anggaran ini tidak menggunakan selisih harga terbuka. Alih-alih mark-up, mekanisme yang dipakai adalah pemberian discount dan cashback dari rekanan.
Alurnya disebut berjalan seperti ini:
KSM diarahkan membeli ke penyedia tertentu.
Rekanan memberi harga sesuai standar, namun menyelipkan “diskon” khusus untuk dinas.
Diskon tersebut tidak dikembalikan ke KSM, melainkan ditarik dalam bentuk fee atau cashback bagi oknum yang mengkondisikan pengadaan.
Dengan model ini, praktik penyalahgunaan terlihat lebih halus, karena tidak tampak adanya kenaikan harga di atas standar. Namun tetap saja, ada potensi gratifikasi dan korupsi yang bertentangan dengan aturan juknis dan hukum pengadaan barang/jasa pemerintah.
—
Potensi Kerugian Negara
Berdasarkan pagu program sanitasi 2025, Lampung Utara menerima alokasi hingga Rp 6,450 miliar untuk pembangunan septictank individu dan komunal.
Jika pola cashback 40–50% dari pengadaan tengki pabrikan benar terjadi, maka potensi fee yang terkumpul bisa mencapai Rp 500 juta lebih, hanya pada item itu saja.
Jumlah sebesar itu seharusnya bisa kembali ke masyarakat dalam bentuk peningkatan kualitas atau jumlah unit septictank, bukan justru masuk ke kantong oknum.
—
Suara Keras dari Pengusaha dan Kontraktor
Ketua Gabungan Pengusaha dan Kontraktor (GPK) Lampung Utara, Deni Merian, S, menegaskan adanya indikasi penyalahgunaan wewenang.
“Ada penyalahgunaan wewenang yang nyata. Kalau bupati tidak segera turun tangan, Lampung Utara bisa kena sanksi pusat. Yang lebih parah, rakyat jadi korban. Aparat penegak hukum juga jangan diam, indikasi korupsinya jelas,” tegas Deni.
Deni juga menambahkan, pihaknya mendapat informasi bahwa dana program tersebut berpotensi akan dialihkan ke APBD Perubahan (APBD-P).
“Itu kan ngelantur. Program ini jelas bersumber dari pusat, bagaimana bisa dialihkan ke APBD-P? Kalau tidak ada tindak lanjut dari pemangku jabatan di atasnya, saya akan melaporkan hal ini ke aparat penegak hukum (APH),” pungkasnya.
—
Ancaman Sanksi untuk Lampung Utara
Jika persoalan ini tidak segera dituntaskan, Kementerian PUPR berhak membekukan program sanitasi untuk daerah yang tidak patuh juknis.
Artinya, selain program 2025 gagal, Lampung Utara berisiko kehilangan alokasi dana untuk tahun berikutnya.
—
Siapa Bermain di Balik Proyek Septictank?
Pertanyaan besar kini: siapa saja aktor yang mengendalikan cashback tersebut?
Apakah sekadar oknum di dinas, atau sudah melibatkan jejaring politik dan bisnis yang lebih luas?
Jawaban itu kini bergantung pada langkah tegas Bupati Lampung Utara, Dr. Hamartoni, serta keberanian aparat penegak hukum mengusut tuntas.
Yang pasti, program sanitasi yang seharusnya menjadi hak rakyat kecil terancam berubah menjadi ladang bancakan segelintir elit.
—