Oleh: Iwan Nurdin
(Ketua Majelis Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria)
Sejarah mencatat bagaimana hak atas tanah marga pernah mengalami perubahan status yang merugikan masyarakat adat. Pada 1952, Residen Lampung mengubah istilah Tanah Marga menjadi “Tanah Negeri” lewat sebuah ketetapan. Meskipun istilahnya berubah, pada waktu itu hak ulayat kolektif masyarakat adat masih diakui secara de facto.
Namun, pada era Orde Baru, banyak tanah marga tanpa sertifikat individu diubah menjadi Tanah Negara, tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat adat. Beberapa gubernur mengeluarkan SK seperti SK Gubernur No. G/127/DA/HK/1974 dan SK G/088/DA/HK/1977 yang mencabut izin tanah yang pernah dikeluarkan oleh kepala negeri atau kampung, dan menyatakan bahwa semua Tanah Negeri menjadi Tanah Negara.
Pertanyaannya: apakah SK Gubernur memiliki kekuatan untuk mencabut hak adat dan mengubah status tanah marga secara massal?
Landasan Hukum dan Argumentasi
1. SK Gubernur Bukanlah Regeling
Dalam teori hukum, SK Gubernur termasuk dalam kelompok beschikking — keputusan administratif yang bersifat konkret dan individual. SK tidak dapat digunakan untuk membentuk norma hukum umum yang mencabut hak suatu komunitas adat secara kolektif.
2. Asas Legalitas dan Pembatasan Kewenangan
Setiap tindakan pemerintah harus memiliki dasar hukum yang jelas. Sampai saat ini, tidak ada undang-undang—termasuk Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960—yang memberikan kewenangan kepada gubernur untuk menghapus hak ulayat atau marga secara menyeluruh.
3. Hierarki Peraturan: Lex Superior vs Lex Inferior
SK Gubernur berada jauh di bawah undang-undang dan UUD 1945 dalam hierarki peraturan. Oleh karena itu, SK tersebut tidak dapat membatalkan atau meniadakan ketentuan yang diatur dalam peraturan yang lebih tinggi.
Dari segi formil, SK Gubernur semacam itu dapat digolongkan sebagai tindakan ultra vires — melampaui kewenangan. Dari segi materiil, muatan SK tersebut bisa dianggap inkonstitusional karena bertentangan dengan pengakuan masyarakat adat yang dijamin UUD 1945 dan ketentuan hak ulayat dalam UUPA.
Implikasi dan Tuntutan Pemulihan
Masyarakat adat berhak menuntut pemulihan hak atas tanah marga yang pernah dirampas atau diubah statusnya secara sepihak.
Pemerintah berkewajiban melakukan koreksi terhadap kesalahan masa lalu dan memastikan bahwa hak adat dipulihkan sesuai prinsip keadilan dan hak asasi manusia.
SK-SK gubernur yang cacat secara hukum harus dianggap batal demi hukum sejak awal.
Hak masyarakat adat atas tanah marga bukan sekadar warisan historis, tetapi juga soal keadilan, identitas, dan pengakuan negara terhadap keberadaan komunitas adat sebagai bagian integral bangsa.
#TanahMarga, #KeadilanAgraria, #HakAdat, #ReformaAgraria ,#PemulihanHak, #Lampung, #BeritaIndonesia, #IwanNurdin, #KeadilanSosial ,#HukumAgraria,

















