
Redaksi berita-indonesia.com
Opini – Rubrik Sosial & Pembangunan Daerah
Hari Rabu, 29 Oktober 2025, Provinsi Lampung — khususnya Kabupaten Lampung Utara — tampak sibuk berbenah. Kabar kedatangan Presiden Prabowo Subianto membuat aparat, petani, hingga pejabat daerah memoles wajah wilayahnya. Namun, Presiden tak hadir. Ia diwakili oleh Pak Syafri Syamsudin dan Menteri Pertanian Amran Sulaiman. Bagi sebagian, itu bukan masalah. Tetapi bagi rakyat Lampung, yang telah lama menunggu sentuhan kebijakan di tanah singkong, absensi itu terasa lebih dari sekadar ketiadaan fisik — melainkan ketiadaan harapan.
1. Panen Raya yang Tak Menyentuh Akar
Panen raya kedelai di Kotabumi Utara semestinya menjadi simbol keberhasilan pertanian nasional. Namun di balik gegap gempita seremoni, muncul rasa getir. Lampung bukan tanah kedelai — ia adalah tanah singkong, tanah rakyat kecil yang menggantungkan hidup dari akar itu. Ironinya, singkong, komoditas utama Lampung, justru tak disebut-sebut.
Para petani merasa tak terlihat di tengah panggung pembangunan yang sibuk mengangkat komoditas baru. Di setiap tenda dan spanduk acara, nama singkong lenyap, digantikan jargon swasembada yang terasa asing di telinga petani Lampung.
2. Kekecewaan yang Lebih Dalam dari Sekadar Kehadiran
Masyarakat Lampung mungkin kecewa karena Presiden tidak hadir, namun kekecewaan yang lebih hakiki adalah ketidakhadiran perhatian terhadap persoalan dasar mereka. Harga singkong jatuh, biaya produksi naik, dan pabrik pengolahan tak lagi bergairah.

“Kami tidak butuh kamera, kami butuh kebijakan,” keluh salah seorang petani di Kecamatan Abung Barat. Kalimat sederhana, tapi mencerminkan luka kolektif yang tak pernah diobati.
3. Pertanyaan untuk Negara
Mengapa subsidi bisa deras untuk proyek-proyek megah seperti kereta cepat, tetapi enggan menetes untuk petani di Lampung?
Apakah kehidupan di antara rel Jakarta–Bandung lebih berharga daripada ladang-ladang singkong di tanah Sumatera bagian selatan?
Pertanyaan ini bukan tudingan, tapi cermin. Rakyat Lampung menatap ke arah pusat, menanti jawaban yang bukan retorika, melainkan langkah nyata.
4. Seruan dari Tanah Singkong
Lampung bukan sekadar provinsi penghasil hasil bumi; ia adalah penjaga ketahanan pangan nasional. Namun para penjaga itu kini goyah. Mereka tak menuntut belas kasihan, hanya keadilan yang berpijak pada tanah dan peluh.
Negara, jika benar hadir untuk semua, seharusnya tak membiarkan petani singkong menanggung sendiri derita pasar. Lampung bukan wilayah pinggiran — ia adalah halaman depan Indonesia bagian barat yang berdebu namun setia memberi makan negeri.
—
KUTIPAN KUNCI UNTUK DITEBALKAN DI TENGAH TEKS:
> “Kami tidak sedang bicara siapa yang datang. Kami menanti kapan persoalan rakyat Lampung benar-benar sampai di meja pemerintah pusat.”
“Lampung bukan butuh tamu kehormatan, tapi kebijakan yang berpihak.”
Selamat datang kepada mereka yang mewakili Presiden.
Selamat datang di Bumi Lampung — bumi yang sedang berdoa agar tak hanya dikunjungi, tapi dipahami.
Sebab di sini, singkong bukan sekadar tanaman, melainkan simbol keteguhan rakyat yang terus menunggu perhatian negeri yang mereka beri makan.
#LampungBerduka, #SuaraPetani, #OpiniNasional, #SingkongLampung, #Prabowo, #KeadilanPertanian, #IndonesiaAgraris, #LampungUtara,

















