
“Prabowo ku tunggu, Menhan ku datang
Singkong kutanam, kedelai dipanennya.”
Kalimat sederhana itu lahir dari keresahan, tapi juga dari harapan. Presiden datang ke Lampung bukan sekadar kabar politik, melainkan gema bagi jutaan petani singkong yang bermimpi sederhana — bisa menyekolahkan anak, menanak nasi di dapur yang tak lagi kosong, dan melihat harga hasil panennya dihargai layak.
Namun, di tengah gegap gempita pembangunan dan perayaan delapan puluh tahun kemerdekaan, mimpi petani tampak masih jauh dari kata “merdeka.” Kami hanya petani kecil, yang menanam di tanah sendiri tapi kadang tak memiliki kuasa atas hasilnya.
Lampung dan Paradoks Singkong Nasional
Provinsi Lampung menyumbang lebih dari 51 persen produksi singkong nasional, atau sekitar 7,9 juta ton pada 2024. Artinya, lebih dari separuh ubi kayu Indonesia berasal dari tanah Sai Bumi Ruwa Jurai ini. Ironisnya, di balik angka besar itu, petani justru menghadapi ketidakpastian harga dan dominasi industri penggilingan tapioka yang menentukan nasib dari balik meja.
Sejak Instruksi Gubernur Lampung No. 2/2025 diberlakukan — yang menetapkan harga dasar singkong Rp1.350/kg — harapan sempat muncul. Tetapi di lapangan, potongan rafaksi, biaya transportasi, dan dominasi tengkulak membuat harga riil masih jauh dari ideal.
—
Kebijakan dan Kenyataan di Lapangan
Dari Permentan No.7/2012 tentang produktivitas lahan berkelanjutan, hingga Permendag No.31/2025 tentang pembatasan impor tepung tapioka, arah kebijakan sebenarnya jelas: melindungi petani dan mendorong kemandirian industri pangan. Namun realitas di lapangan menunjukkan kesenjangan antara teks kebijakan dan praktik distribusi keuntungan.
Industri besar masih menikmati margin tinggi dari fluktuasi harga bahan baku, sementara petani tetap menjadi penerima risiko terakhir. Ketika harga turun, petani rugi; ketika harga naik, rafaksi dinaikkan.
—
Mimpi yang Perlu Dirawat
Menjadi petani singkong hari ini berarti hidup di antara mimpi dan kenyataan. Tapi petani Lampung bukan sekadar penonton. Kami belajar, berorganisasi, dan menuntut ruang partisipasi yang lebih besar dalam menentukan arah kebijakan pertanian.
Presiden, siapa pun dia, ditunggu bukan sekadar untuk berpidato, melainkan untuk mendengar langsung denyut tanah yang menumbuhkan pangan negeri ini.
—
Penutup
Kemerdekaan sejati bukan hanya upacara dan parade, melainkan ketika petani kecil dapat menentukan harga panennya sendiri, ketika dapur ibu di desa mengebul setiap hari, dan ketika anak-anak petani bisa bermimpi lebih tinggi dari ladang tempat ayahnya menanam singkong.
Sebab di setiap butir singkong yang tumbuh dari tanah Lampung, ada harapan tentang bangsa yang benar-benar merdeka — dari perutnya sendiri.
Catatan kecil
Produksi Singkong Lampung (2024) 7,9 juta ton
Pangsa Nasional 51%
Estimasi Produksi Nasional ±15,5 juta ton
Pabrik Tapioka di Lampung ±70 unit
#SingkongLampung, #HarapanPetani, #YudiIrawan, #BeritaIndonesia, #PetaniBicara, #LampungBangkit, #PanganNasional, #KetahananPangan, #DariSingkongUntukBangsa, #PertanianIndonesia, #EkonomiKerakyatan, #MerdekaPetani, #PabrikSingkong, #SuaraPetani, #LampungHebat, #BeritaDaerah, #BeritaTerkini, #InspirasiPetani,
















