Mantan Bupati Pesawaran, Dendi Ramadhona, Diperiksa Kejati Lampung Terkait Proyek SPAM Rp8,2 Miliar
Bandar Lampung – Mantan Bupati Pesawaran, Dendi Ramadhona, diperiksa oleh penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung, Kamis (4/9/2025), terkait dugaan permasalahan proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Kabupaten Pesawaran senilai Rp8,2 miliar yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun 2022.
Dendi yang mengenakan kemeja putih terlihat keluar dari ruang pemeriksaan kantor Kejati Lampung pada Kamis malam.
> “Sesuai kewenangan ya sebagai kepala daerah dulu, tahun 2022, terkait adanya permasalahan SPAM di Dinas PUPR,” ujar Dendi menjawab pertanyaan awak media.
Saat disinggung jumlah pertanyaan yang dilontarkan penyidik, Dendi enggan merinci.
> “Waduh, lupa menghitung saya,” ucapnya sembari tersenyum.
Dendi mengaku dirinya diperiksa sejak Kamis sore hingga malam hari.
> “Dari sore tadi (Kamis). Izin ya semuanya,” kata Dendi sebelum masuk ke dalam mobil yang telah menunggunya.
Di sisi lain, Aspidsus Kejati Lampung, Armen Wijaya, membenarkan pemeriksaan terhadap Dendi.
> “Pada hari ini (Kamis) kami juga melakukan pemanggilan tahapan penyelidikan terhadap (mantan) Bupati Pesawaran, Dendi Ramadhona, terkait kegiatan pekerjaan yang ada di Pesawaran,” ujarnya.
Armen menambahkan, selain Dendi, belasan orang lainnya juga ikut diperiksa sebagai saksi dalam kasus proyek SPAM tersebut.
—
Pendapat Ahli Hukum
Ahli hukum, Ivin Aidyan Firnandes, SH., MH., menilai kasus ini menjadi peringatan serius bagi para kepala daerah agar tidak mudah tergoda dalam mengintervensi proyek, sekalipun sumber anggaran berasal dari pemerintah pusat.
> “Kepala daerah harus berhati-hati. Setiap campur tangan yang melampaui kewenangan teknis dapat menyeretnya ke ranah pidana, meskipun masa jabatan sudah berakhir. Jabatan boleh selesai, tetapi pertanggungjawaban hukum tetap melekat,” tegas Ivin.
Menurutnya, hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyebutkan:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, dapat dipidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun serta denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp1 miliar.”
Selain itu, dalam konteks tata kelola pemerintahan, Pasal 3 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menegaskan bahwa setiap keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan harus berdasarkan asas legalitas, profesionalitas, dan akuntabilitas.
> “Jika kepala daerah mengabaikan prinsip legalitas dalam proyek pembangunan, maka pintu masuk pidana terbuka lebar. Ini penting sebagai pelajaran agar setiap kepala daerah menjauhkan diri dari praktik intervensi proyek,” pungkas Ivin.

















