Oleh Iko Erza Haritius
Pecinta Pendidikan & Pemerhati Kebijakan Publik
Kapitalisasi sekolah—atau proses menjadikan pendidikan sebagai komoditas ekonomi—telah menjadi tren global yang tampak modern, namun menyimpan krisis mendalam. Sekolah tidak lagi semata ruang pembelajaran dan pembentukan karakter, melainkan arena bisnis yang menilai keberhasilan berdasarkan angka, peringkat, dan daya jual lulusan.
Menurut teori Samuel Bowles dan Herbert Gintis dalam Schooling in Capitalist America (1976), sistem pendidikan di bawah logika pasar cenderung mereproduksi struktur sosial yang timpang. Sekolah “elit” melahirkan kembali kelas berkuasa, sementara kelompok miskin terperangkap dalam siklus ketidaksetaraan. Pendidikan yang seharusnya menjadi jalan mobilitas sosial justru berubah menjadi mekanisme reproduksi ekonomi.
Lebih jauh, Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed, menegaskan bahwa pendidikan sejatinya harus membebaskan manusia dari struktur penindasan. Namun, kapitalisasi justru menanamkan model “banking education”, di mana pengetahuan disetor sebagai transaksi, bukan hasil dialog kritis. Siswa diposisikan sebagai pelanggan, bukan subjek pembelajaran.
Dampak lain yang diamati oleh OECD (2023) menunjukkan bahwa perbedaan mutu antara sekolah negeri dan swasta tidak semata akibat kualitas pengajaran, melainkan faktor ekonomi. Sekolah berbayar memiliki sumber daya lebih, sementara sekolah publik harus bertahan dengan keterbatasan fasilitas dan pendanaan.
Tekanan kompetisi juga membuat guru kehilangan otonomi profesional. Mereka diarahkan untuk “mengajar sesuai pasar”, mengejar metrik keberhasilan seperti nilai ujian atau akreditasi, bukan kedalaman berpikir atau kreativitas siswa.
Lebih jauh, kapitalisasi menciptakan distorsi prioritas riset di perguruan tinggi. Kajian yang tidak bernilai komersial mulai tersingkir, sementara penelitian yang menguntungkan industri mendapatkan dukungan lebih besar. Akibatnya, fungsi sosial dan demokratis pendidikan tergeser oleh logika ekonomi.
> “Berhentilah berharap pada sistem pendidikan yang dikendalikan logika pasar, karena di sana ilmu kehilangan nuraninya,” tulis Iko Erza Haritius dalam refleksinya.
Pendidikan semestinya menjadi hak publik, bukan arena transaksi. Negara wajib memastikan akses yang adil, mendukung guru dengan otonomi akademik, dan menjaga agar ilmu pengetahuan tidak tunduk pada kapital. Bila pendidikan terus diperdagangkan, maka generasi mendatang hanya akan tumbuh menjadi produk—bukan manusia pembelajar.
#KapitalisasiSekolah, #KrisisPendidikan, #PendidikanUntukSemua, #IlmuBukanKomoditas, #RedaksiBeritaIndonesia, #IkoErzaHaritius, #SuaraRakyatIndonesia,

















