Internasional, Princeton
(berita-indonesia.com) :
Suhu global kembali mencatat rekor baru dalam 12 bulan terakhir, November 2022-Oktober 2023, yang menandai terjadinya periode terpanas sepanjang sejarah dalam satu tahun.
Hasil studi terbaru Central Climate pada Kamis, 9 November 2023, suhu global mengalami kenaikan lebih dari 1,3 derajat Celcius.
Rekor 12 bulan ini persis seperti yang kami perkirakan dari iklim global di picu oleh karbon polusi,” kata Dr. Andrew Pershing, Wakil Presiden Bidang Sains di Climate Central, dalam keterangannya, Kamis.
Rekor akan terus terjadi pada tahun depan, terutama ketika El Niño yang semakin meningkat mulai terjadi dan memperlihatkan dampaknya miliaran akibat panas yang tidak biasa.
Meskipun dampak iklim paling parah terjadi di negara-negara berkembang khatulistiwa, menyaksikan gelombang panas ekstrem yang dipicu oleh perubahan iklim di AS, India, Jepang, dan Eropa, menggarisbawahi bahwa tidak ada seorang pun yang aman dari perubahan iklim,” tambahnya
Prof Edvin Aldrian, peneliti BRIN sekaligus penulis IPCC Report, mengatakan dengan kenaikan suhu global rata-rata mencapai 1,3 derajat Celcius, dia khawatir kenaikan suhu 1,5 derajat Celcius akan lebih cepat terjadi dari pada yang diperkirakan pada tahun 2030.
“Memang ada faktor-faktor alam seperti fenomena El Niño, atau posisi matahari yang mendekati Bumi, tetapi aktivitas manusialah yang paling banyak memengaruhi kenaikan suhu global ini,” ujar Edvin.
Di Indonesia, Climate Central menganalisis 14 kota. Hasilnya, 9 dari 14 kota tersebut mengalami hari terpanas beruntun (heat streaks). Jakarta dan Tangerang mengalami heat streaks selama 17 hari, menjadikan kedua kota ini – bersama New Orleans di Amerika Serikat (AS) – berada di urutan kedua dalam daftar kota-kota dunia dengan hari terpanas beruntun. Sementara itu, Houston (AS) menduduki peringkat teratas dengan 22 hari beruntun.
Di dalam pantauan kota tersebut, dalam setiap hari berturut-turut, Indeks Pergeseran Iklim atau Climate Shift Index (CSI) mencapai tingkat maksimum, yaitu 5. Nilai itu menunjukkan bahwa perubahan iklim menyebabkan kemungkinan panas ekstrem setidaknya lima kali lipat lebih mungkin terjadi.
Selain catatan heat streaks, Jakarta – bersama 27 kota besar dunia lain – mencatat angka maksimal dalam perhitungan Indeks Pergeseran Iklim, yakni 5 dari 5. Sebaliknya, Dhaka di Bangladesh mencatat Indeks Pergeseran Iklim paling rendah yakni sebesar 2,1 dari 5.
Indonesia, sebagai salah satu negara Asia yang beriklim tropis turut mengalami kenaikan suhu dalam setahun terakhir. Bahkan, berdasarkan perhitungan Indeks Pergeseran Iklim, Indonesia menempati urutan teratas di antara negara-negara G20 dengan angka rata-rata 2,4, mengalahkan Arab Saudi (2,3) dan Meksiko (2,1).
Di 170 negara, suhu rata-rata 1,3 derajat Celcius selama rentang waktu tersebut melebihi ukuran dalam 30 tahun terakhir. Sebanyak 7,8 miliar jiwa alias 99 persen umat manusia mengalami suhu hangat di atas rata-rata. Hanya Islandia dan Lesotho yang mencatat suhu lebih dingin dari biasanya.
Analisis atribusi cuaca mengungkapkan bahwa selama rentang waktu tersebut, 5,7 miliar orang terpapar pada setidaknya 30 hari suhu di atas rata-rata setidaknya tiga kali lebih mungkin terjadi oleh pengaruh perubahan iklim, atau level tiga pada Indeks Pergeseran Iklim.
Paparan tersebut mencakup hampir setiap penduduk Jepang, Indonesia, Filipina, Vietnam, Bangladesh, Iran, Mesir, Ethiopia, Nigeria, Italia, Prancis, Spanyol, Inggris, Brasil, Meksiko, serta Karibia dan setiap negara di Amerika Tengah. Selama rentang waktu ini, lebih dari 500 juta orang di 200 kota mengalami panas ekstrem, dibandingkan dengan suhu harian pada 30 tahun norma di rilis TEMPO.CO.