Setelah Kontrak, Apakah PPK Dapat Diberhentikan..?
Lampung Utara (BI):
Dampak rolling Di Kabupaten Lampung Utara yang di gelar pada Selasa, (30-8-2022) lalu, selain di duga menabrak aturan, juga berpotensi menimbulkan polemik hukum baru, Selasa (13-9-2022).
Hal itu muncul, saat Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang sudah berkontrak dan proses kontrak itu telah berjalan. Dipertengahan, pejabat yang bersangkutan terkena rolling atau diberhentikan.
Sedangkan, syarat menjabat PPK merujuk
Peraturan Presiden (Prepres) No. 16 Tahun 2018 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah pada Bab XIV, ketentuan peralihan,
menyatakan PPK/Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan yang dijabat oleh Aparatur Sipil Negara/TNI/Polri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf b wajib memiliki sertifikat kompetensi di bidang Pengadaan Barang/Jasa atau dalam hal ini, menjabat sebagai kepala bidang (Kabid).
Lalu, apakah dengan tidak terpenuhinya syarat untuk menjadi PPK merujuk Prepres No. 16 Tahun 2018 sedangkan kontrak telah ditandatangani sebelumnya. Dapat berakibat kontrak yang telah ditandatangani tersebut dianggap batal demi hukum atau null and void
(perjanjian itu dianggap tidak pernah ada sehingga tidak akan mengikat para pihak).
Mensikapi polemik hukum itu, mari kita ikuti uraian berikut ini.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Kabupaten Lampung Utara, Matsoleh, di ruang kerjanya, beberapa hari lalu mengatakan pergantian PPK setelah penandatanganan
kontrak tidak berpengaruh secara hukum pada perjanjian kontrak yang di buat. Kontrak dapat dilanjutkan oleh PPK yang baru.
“Status kontrak yang berjalan tidak berlalu surut. Kontrak menggunakan kontrak yang lama, hanya PPK-nya telah di ganti dengan PPK yang baru” ujarnya.
Menanggapi hal itu, penulis mengambil acuan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang berlaku sebagai dasar hukum perjanjian di Indonesia. Merujuk Pasal 1320 KUHPerdata, terdapat 4 (empat) syarat sahnya perjanjian yang harus dipenuhi ketika membuat surat perjanjian. Pertama kesepakatan para pihak dalam hal ini, kesepakatan di buat tanpa ada unsur
kekhilafan, paksaan ataupun penipuan. Ke dua, kecakapan para pihak atau dalam hal ini wewenang para pihak yang membuat perjanjian. Ke tiga adanya suatu hal atau objek tertentu dan ke empat suatu sebab yang halal (tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, kesusilaan dan ketertiban umum).
Setelah ke empat syarat sahnya perjanjian terpenuhi dan kontrak di buat, ada delapan
asas Hukum Perikatan (Asas dalam Berkontrak) yang tercermin dalam KUHPerdata, antara lain:
1. Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Asas ini merupakan asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
membuat atau tidak membuat perjanjian;
mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya; dan menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
2. Asas Konsensualisme (concensualism).
Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata telah menentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan antara kedua belah pihak.
3. Asas Kekuatan Mengikat (pacta sunt servanda). Asas ini juga merujuk pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, di mana para pihak akan terikat dengan perjanjian yang telah dibuatnya layaknya undang-undang.
4. Asas Itikad Baik (good faith). Asas ini telah tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang berbunyi:
“Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Sehingga dapat disimpulkan bahwa, para pihak dalam membuat kontrak maupun saat melaksanakan isi kontrak tersebut harus dilakukan dengan itikad dan niat baik.
5. Asas Keseimbangan. Asas ini menerapkan adanya suatu posisi tawar yang sama atau seimbang ketika membuat perjanjian di antara para pihak.
6. Asas Kepatutan. Asas ini tercermin dari Pasal 1339 KUHPerdata yakni:
“Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh (1) kepatutan, (2) kebiasaan, (3) undang-undang.”
Artinya, kontrak tersebut juga harus memperhatikan kepatutan dan keadilan bagi para pihak.
7. Asas Kepastian Hukum. Asas ini merupakan cerminan dari Pasal 1338 ayat (2) KUHPer yang menyatakan bahwa pihak dalam perjanjian dilarang untuk membatalkan perjanjian secara sepihak.
8. Asas Kepribadian (personality). Asas ini menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini tertulis dalam Pasal 1315 KUHPerdata dan Pasal 1340 KUHPerdata yang menegaskan bahwa
“Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.”
Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri.
Untuk akibat hukum jika melanggar syarat
sah perjanjian atau kontrak, dijabarkan ada dua katagori. Yakni: syarat subjektif; dan
syarat objektif. Konsekuensi perjanjian bila melanggar syarat subyektif adalah perjanjian yang telah dibuat dapat dibatalkan atau voidable. Artinya, salah satu pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan permohonan pembatalan kepada hakim.
Namun, perjanjian tersebut tetap mengikat para pihak sampai adanya keputusan dari hakim mengenai pembatalan tersebut.
Sedangkan, jika para pihak tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian tersebut akan dianggap batal demi hukum atau null and void. Artinya, perjanjian ini dianggap tidak pernah ada sehingga tidak akan mengikat para pihak.
Sedangkan merujuk Prepres No. 16 Tahun 2018 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah, pada pasal 10 menyatakan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk melaksanakan kewenangan terkait tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja dan perjanjian dengan pihak lain dalam batas anggaran belanja yang telah ditetapkan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, PPK menjadi pihak yang diberikan amanah berupa penugasan untuk menjalankan peran penting mengelola pelaksanaan pengadaan barang/jasa, mulai dari proses perencanaan sampai dengan serah terima hasil pekerjaan.
Kembali ke persoalan awal, silahkan pembaca menyimpulkan. YUD