LAMPUNG UTARA :
UU pers telah menghapus semua atribut yang dapat membelenggu kemerdekaan pers. Untuk menerbitkan media, sudah tidak diberlakukan lagi Surat Izin Usaha Penerbitan Pers, tidak ada pemberedelan, tidak ada wadah tunggal organisasi wartawan dan tidak ada keharusan wartawan mengikuti penataran.
UU Pers merupakan perwujudan kedaulatan rakyat. Artinya, kemerdekaan pers bukan milik wartawan, pemodal, atau Dewan Pers, tetapi milik masyarakat berdaulat yang direfleksikan melalui kemerdekaan pers.
Sehingga, kemerdekaan pers harus bermakna untuk kehidupan masyarakat dan demokrasi.
Dalam perguliran era pers yang sangat bebas inilah, muncul persoalan baru. Khususnya yang terjadi di daerah. Yakni: PROFESIONALISME WARTAWAN.
Hal yang menjadi sangat pelik mengenai kriteria profesionalisme, adalah sulit di buat dalam satu regulasi. Andaikan hal itu dikembalikan ke Dewan Pers. Bisa jadi timbullah aturan-aturan berlebih, pers bisa kembali ke masa Departemen Penerangan. Tapi, jika dibiarkan sikap para “pendompleng nama pers itu akan semakin keterlaluan.
Salah satu Untuk menjaga profesionalisme, merujuk pendapat, Wakil ketua Dewan Pers, Hendri Chairudin Bangun, yang disampaikan kepada MITRA News di Jakarta, belum lama ini. Menegaskan, seorang wartawan harus melepas statusnya sebagai wartawan jika ingin menjadi anggota ormas ataupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Dijelaskan, bahwa seorang wartawan bukan tidak boleh menjadi anggota LSM maupun Ormas. Namun, seorang wartawan harus melepaskan statusnya sebagai wartawan jika ingin menjadi anggota Ormas ataupun LSM, apalagi sampai memberikan statemen di sebuah media.
“Banyak contoh yang seperti itu, dia (oknum wartawan) menulis berita, di dalamnya dirinya juga sebagai narasumber. Inilah yang menyalahi kode etik jurnalistik,” jelasnya.
Mengulas profesi wartawan merujuk Pasal 1 ayat (4) UU Pers dikatakan “Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik”.
Dalam hal ini, profesionalisme wartawan, mesti memenuhi aspek, yakni: melakukan kerja jurnalistik berdasarkan etika dan ada produk yang dihasilkan secara teratur. Selain itu, ada norma yang harus dipenuhi dan terfokus pada kepentingan khalayak umum. Seperti, kewajiban kepada pembaca sikap tidak memihak, sikap peduli, sikap adil, objektif, yang semuanya harus tercermin dalam produk penulisannya.
Untuk mencapainya, wartawan perlu memiliki kematangan berpikir, memiliki landasan etika dan rasa tanggung jawab atas perkembangan budaya masyarakat di mana wartawan itu bekerja.
Dan, kode etik jurnalistik merupakan bimbingan moral dan pedoman kerja para wartawan.
Bila profesionalisme telah dijalankan. Tentunya, seorang jurnalis akan memberikan penghormatan bagi setiap individu atau pribadi masyarakat yang diliputnya. Dengan itu, wartawan akan dapat menjaga martabatnya sendiri dan mendapatkan kepercayaan masyarakat saat melaksanakan tugasnya dilapangan.
Lalu, bisakah bila cita-cita besar mewujudkan penegakan demokrasi, kemerdekaan pers dan supremasi hukum dicampuradukkan dengan wartawan amatiran atau gadungan? Adilkah masyarakat, sebagai pemilik kemerdekaan pers, melakukan pembiaran?. Dan, apakah wartawan amatiran dapat diandalkan.
Karena, beberapa kasusistik dilapangan. “mereka” bermasalah dan cenderung melakukan pelanggaran hukum seperti pencemaran nama baik?.
Di era globalisasi, peran besar wartawan sebagai pengumpul dan pengelola informasi sangat berarti bagi masyarakat. Karenanya, masyarakat juga berhak mengawasi, menilai dan bahkan mengkritisi kinerja wartawan agar apa yang disajikan oleh wartawan itu adalah sesuatu yang benar, berkualitas dan bermanfaat.
Pekerjaan jurnalistik yang dilakukan, bukan aebatas profesi. Tapi, juga tanggung jawab terhadap karyanya. Apakah karya itu telah memberi manfaat atau tidak..?
Menilik hal itu, kalau kita ingin mengimplementasikan kemerdekaan pers dengan prinsip keadilan, adilkah wartawan profesional dicampuradukkan dengan wartawan amatiran atau gadungan? Adilkah masyarakat, sebagai pemilik kemerdekaan pers, melakukan pembiaran? Lalu, apakah wartawan amatiran dapat diandalkan untuk menegakkan prinsip kemerdekaan pers dan supremasi hukum. Sementara “mereka” bermasalah dan cenderung melakukan pelanggaran hukum seperti pencemaran nama baik?
Bagaimana dengan Lampung Utara apakah sudah.. ..?